"Welcome to My Blog"

WELCOME TO MY BLOG

Senin, 24 Januari 2011

Mengapa Pria Sulit Berkata “Aku Cinta Padamu”


Meskipun telah hidup bersama puluhan tahun, antara pria dan wanita masih muncul perasaan bahwa mereka tak dapat memahami satu sama lain. Sesuatu yang oleh wanita dianggap penting untuk dibicarakan, tidak penting bagi pria.
“Masih nggak ngerti juga ya,” tulis Enrico lewat pesan singkat teleponnya (SMS) ketika Cory, istrinya, bertanya lewat media yang sama, apakah ia sungguh-sungguh mencintainya.
Bukan jawaban seperti yang diharapkan Cory. Ia Ingin sekali suaminya berkata, “Ya, aku sangat mencintaimu,” atau “Aku cinta padamu,” atau, “Kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai,” dan sejenisnya. Kalau tak bisa secara langsung diucapkan lewat bibirnya, melalui pesan SMS pun tak jadi soal. Tapi harapan Cory masih sia-sia.
Enrico dan Cory, sebutlah begitu nama pasangan ini, memang sering berkomunikasi lewat SMS, termasuk untuk urusan perasaan yang dalam. Hal itu sengaja ditempuh Cory, karena ia kehabisan akal untuk membuat suaminya dapat mengungkapkan isi hatinya.
“Kalau diajak diskusi tentang sesuatu yang jadi minatnya, wah, dia semangat sekali.Tapi coba diajak bicara tentang perasaannya, dia langsung diam,” kata Cory. Wanita ini sering memancingnya dengan menceritakan perasaannya, tapi ia hampir tak pernah mendapatkan respon. Enrico hanya mendengarkan saja, dan bahkan lebih sering segera mengalihkan topik pembicaraan.
“Kenapa ya, pria kok sulit sekali mengungkapkan perasaan hatinya?” tanya Cory.
Berbeda Cara
  • Bukan hanya sulit mengungkapkan perasaan hatinya yang paling dalam. Pria pada umumnya memang sulit untuk diajak berbicara mengenal hal—hal yang menurutnya tidak penting dan tidak perlu dibicarakan. Seperti soal masih cinta apa tidak itu.
Deborah Tannen, seorang doktor linguistik dari Universitas California, Berkeley, AS, yang menghabiskan 17 tahun waktunya untuk meneliti percakapan pria dan wanita, berkesimpulan bahwa antara kedua jenis kelamin ini memang memiliki gaya berbicara yang berbeda.
Kaum pria cenderung menggunakan bahasa demi mempertahankan ‘kemerdekaannya’ dan memelihara posisinya dalam kelompok. Bagi pria, orang yang memberi perintah ada ‘di atas’ dan yang menerima perintah ada ‘di bawah’. Sedangkan wanita menggunakan bahasa untuk menciptakan hubungan dan keintiman. Tujuannya adalah terlibat dengan orang lain. Tentu saja perbedaan gaya berbicara ini dapat menimbulkan kesulitan dan konflik di antara keduanya.
Antara pria dan wanita memang ada perbedaan pandangan mengenai apa itu komunikasi. Bagi pria berkomunikasi berarti, “Bila ada topik penting untuk didiskusikan, misalnya ada mobil yang akan dibeli, ya mari kita bicarakan.” Padahal bagi wanita berkomunikasi berarti meneguhkan keintiman dengan saling mengutarakan pikiran, pengalaman sehari-hari maupun masalah-masalah ringan.
Dianggap Beban
  • Lantas bagaimana pria mengekspresikan keintiman, bila tidak melalui komunikasi verbal?
Menurut DR. Tannen, keintiman bagi pria berarti melakukan sesuatu yang sama secara bersama-sama. Mereka tidak merasakan adanya kebutuhan untuk berbicara secara akrab.
Ia memberi contoh sepasang suami istri yang telah menikah selama 57 tahun. Ketika istrinya sakit, Si suami sangat khawatir. Tapi dia tak berpikir untuk memperlihatkan keprihatinannya secara verbal (melalui kata-kata).
Kata-kata yang keluar dari bibirnya malah, “Kamu mau aku antar ke dokter?” Tak terpikir oleh si suami untuk misalnya berkata, “Oh, gimana rasanya? Aku jadi khawatir, nih. Mulai kapan sakitnya?” Tidak ada ungkapan yang bernada simpati sedikit pun.
Ada kesan, pria menafsirkan rumah tangga yang menyenangkan sebagai, “Jika aku pergi sepanjang hari untuk meningkatkan diriku, maka saat aku pulang ada seseorang yang menerimaku. Jadi tidak perlu ada pembicaraan.” Itulah bedanya.
Seorang wanita ketika pulang ke rumah justru merasa, “Aku sudah harus selalu berhati-hati sepanjang hari. Jika aku berbicara banyak, orang menganggapku agresif. Kalau sampai berkata salah, aku menyakiti hati orang lain atau memulai pertengkaran. Sekarang aku bisa bebas berbicara di rumah.” Ternyata keliru.
Maka tak heran jika wanita sering mengeluh, setiap pulang kerja suaminya tidak pernah bertanya bagaimana keadaannya selama di kantor dan sebagainya. Bagi wanita, ditanya berarti ada perhatian. Tapi bila diprotes mengapa tidak pernah bertanya seperti itu, biasanya suami akan menjawab, “Kalau memang ingin bercerita, ceritalah. Kenapa musti diminta?”
Memang sulit bagi pria menerima keinginan wanita untuk berbicara. Ketika wanita menceritakan kesulitannya sehari-hari, pria menganggap bahwa apa yang diceritakan itu telah terpecahkan.
Pendek kata, menurut Tannen, antara pria dan wanita memang beda pengertian tentang perhatian. Bagi pria tuntutan akan perhatian menjadi semacam beban, sebaliknya wanita bingung kenapa dirinya tidak diperhatikan.
Sejak Kecil
  •  
  • Menurut Tannen, perbedaan gaya berkomunikasi antara pria dan wanita ini dimulai sejak masa kanak-kanak.
Pihak laki-laki umumnya bermain dalam kelompok yang hirarkis, dimana bahasa mereka gunakan untuk membangun status dengan memberi perintah, menunjukkan apa yang mereka ketahui, melontarkan humor dan membuat diri mereka sebagai pusat perhatian.
Berbeda dengan wanita. Kaum Hawa di masa kecil itu cenderung memilih satu teman dekat yang dapat diajak berbicara apa saja. Karena itu ketika dewasa pun mengharapkan ada satu orang, dalam hal ini pasangan hidupnya yang dapat diajak berbicara tentang apa saja.
Kalau sudah tahu bahwa antara keduanya memang berbeda, apakah kita perlu memaklumi saja perbedaan cara berkomunikasi antara pria dan wanita itu? Tapi bukankah selalu ada cara untuk mendekatkan perbedaan itu dan berkompromi?

 

Tidak ada komentar: